Minggu, 28 Januari 2018

Prasangka Buruk

Barusan aku shalat isya di shaf ketiga lalu aku melihat persis di depanku ada kakek shalat dengan jarak yang cukup longgar seukuran setengah orang dari orang di sebelah kirinya. Mau diisi tapi tidak muat, mau dibiarkan tapi gatel banget melihatnya. Akhirnya aku hanya bisa shalat di belakang celah nanggung itu. Bukannya shalat yang khusyuk, aku malah kepikiran

"Ah dasar kakek-kakek bukannya merapatkan shaf malah shalat seenaknya dia.",

"Gimana umat mau bersatu kalau shaf shalat aja belum bisa rapat.",

"Biasanya nih orang kayak gini kalau orang sebelahnya merapatkan kakinya ke ke kaki dia biar shafnya rapat, orang ini bakal malah makin menjauh kakinya.",

dan prasangka buruk lainnya terbesit dalam benakku. Padahal seharusnya shalat itu khusyuk.

Gerakan shalatpun berlanjut. Berdiri-rukuk-i'tidal-sujud. Saat tiba waktunya bersujud, aku baru sadar bahwa kakek itu memiliki keterbatasan Range of Motion (ROM) pada lututnya sehingga saat sujud dia memerlukan tempat yang lebih luas dari biasanya karena tungkainya (baca: kaki) tidak dapat menekuk sempurna. Gerakan selanjutnya adalah duduk di antara dua sujud. Ini lebih sulit lagi tentunya. Kakinya yang tak bisa menekuk sempurna membuatnya memakan tempat yang lebih luas bahkan dibanding saat sujud sekalipun.

Setelah itu aku baru sadar, prasangkaku tidaklah benar. Kakek ini memang membutuhkan tempat lebih luas untuk shalatnya. Prasangkaku 'kakek yang anti rapat shaf' ini runtuh. Aku malu pada diri sendiri. Bahkan berganti muncul rasa kagum. Kakek ini pasti memerlukan perjuangan yang lebih besar untuk tetap shalat berjamaah di masjid. Apalah diriku yang masih muda dan sehat bugar namun masih sering merasa malas untuk berjamaah di masjid.

 Apa kabar dirimu?

Jatiasih, 28 Januari 2018
Bukhori Ahmad Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

/