Senin, 20 Agustus 2018

INDONESIA LEBIH CEPAT 4 JAM MENGAPA MALAH MUNDUR 1 HARI?

Sebuah realita tahun ini terjadi. Jamaah haji hari ini (Senin, 20 Agustus 2018) sedang wuquf (menetap) di Arafah hari ini sebagai rukun haji (tanpa melakukan ini, haji tidak akan sah) karena di sana sudah masuk tanggal 9 dzulhijjah. Namun, kita yang di daerah yang lebih timur ternyata masih berada di tanggal 8 dzulhijjah. Kok bisa ya? Padahal secara zona waktu kita (Waktu Indonesia Barat/GMT+7) lebih cepat empat jam dibanding waktu Makkah (GMT+3).

Pertama, harus kita pahami bahwa bulan hijriyah adalah perhitungan bulan menggunakan bulan. Baru masuk bulan hijriyah yang baru setelah muncul hilal. Hilal adalah bulan sabit muda pertama yang dapat dilihat setelah terjadinya konjungsi (ijtimak, bulan baru) pada arah dekat matahari terbenam yang menjadi acuan permulaan bulan dalam kalender Islam.

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya memiliki dasar yang kuat.

Konsepnya seperti ini, bulan hijriyah itu jika tidak 29 hari berarti 30 hari. Setiap sore di tanggal 29 akan dilakukan pengamatan (atau perhitungan astronomis) apakah sudah muncul hilal atau belum. Jika sudah muncul hilal berarti setelah maghrib sudah masuk bulan baru alias bulan itu hanya 29 hari. Namun, jika hilal belum muncul maka bulan itu digenapkan 30 hari.

Nah, yang membuat jamaah haji di Arab Saudi maju satu hari dibanding kita yang di Indonesia adalah perbedaan tempat terbitnya hilal atau bulan baru. Saat dilakukan pengamatan atau perhitungan hilal untuk akhir petang 29 Dzulqo'dah (bulan sebelum Dzulhijjah) 1439 H alias sabtu sore, 11 Agustus 2018 di Indonesia, hilal belum wujud (tingginya masih minus) akhirnya bulan Dzulqo'dah digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Dzulhijjah 1439 H mulai dari malam senin, 12 Agustus 2018.

Arab Saudi yang lebih barat dan lebih mundur 4 jam zona waktu daripada Indonesia sudah dapat melihat hilal pada sabtu sore (11 Agustus 2018) waktu mereka sendiri. Hal ini yang membuat mereka sudah masuk Dzulhijjah sejak malam ahad, 11 Agustus 2018.

Mengapa di sana bisa melihat hilal tapi di sini tidak bisa? Alasannya adalah saat waktunya perhitungan bulan baru yaitu akhir sore hari tanggal 29 bulan hijriyah di Indonesia hilal belum muncul (sebagai contoh di Yogyakarta perhitungan ini dilakukan untuk 11 Agustus 2018 17:00:24 WIB alias GMT+7 dan hasilnya tinggi bulan masih di bawah minus). Beda ceritanya saat pengamatan dan perhitungan hilal dilakukan pada tempat dan waktu Arab Saudi. Di sana lebih barat dan waktu lebih mundur ditambah juga di sana sedang musim panas sehingga siang panjang (matahari baru terbenam sekitar jam 7 sore waktu di sana). Saat di sana matahari terbenam yang itu terjadi kira-kira 4 jam lebih setelah terbenamnya matahari di Indonesia, hilal sudah muncul di atas ufuk. Otomatis di sana sudah masuk bulan hijriyah baru. Hal ini tidak hanya berlaku di Arab Saudi saja, melainkan juga di daerah-daerah yang lebih barat.

CMIIW
والله أعلم بالصواب

Muslim, B.A.
8 Dzulhijjah 1439 (di Indonesia)
9 Dzulhijjah 1439 (bagi jamaah haji di Arab Saudi)

Jumat, 17 Agustus 2018

Hari yang Sama, 73 Tahun yang Lalu

Saatnya tidaknya hanya membaca sejarah, namun juga menvisualisasi seakan kita hidup di hari itu.

Hari ini, Jumat, 17 Agustus 2018. Tepat 73 tahun yang lalu di hari yang sama, Jumat, 17 Agustus 2018. Saat itu bertepatan dengan bulan puasa, 9 Ramadan 1334.

Bayangkan di bulan puasa itu. Jumat dini hari, 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta menggelar rapat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, yang bersimpati kepada perjuangan Indonesia. Berbekal nasi goreng, roti telur, dan ikan sarden untuk santap sahur, rapat semalam suntuk itu berakhir. Proklamasi ini dibacakan pukul 10.00 WIB dalam keadaan berpuasa.

Lalu apa setelah proklamasi? Tentunya salat jumat. Belum saya temukan naskah sejarah yang menceritakan kejadian siang itu setelah proklamasi.

Seperti biasa di bulan puasa, akhir hari mencari makanan untuk berbuka puasa. Dalam autobiografinya, Bung Karno berkisah bahwa dia berjalan pulang pada petang hari. Bung Karno melihat pedagang sate tak berbaju. Kemudian dia memesan, “Sate ayam lima puluh tusuk.” Setelah itu, Soekarno jongkok dengan lahap dekat selokan, menyantap menu berbuka puasanya. Baginya, inilah pesta pengangkatannya sebagai kepala negara. Sebuah acara perayaan ala kadarnya, dalam bulan yang suci (halaman 225).

Hari Jumat, bulan Ramadan. Kita merdeka di hari dan bulan yang istimewa. Sudahkah kita merenungi keagungannya?


Ditulis seusai merdeka dari "PKKMB"
6 Dzulhijjah 1439 (bagi jamaah haji di Arafah)

Sumber:
Iqbal, Muhammad. (2018) https://tirto.id/proklamasi-kemerdekaan-di-bulan-suci-ramadan-cK1e diakses 17 Agustus 2018
/